Hari ini begitu dingin, namun hangatnya semak belukar selalu menemani. Entah mengapa mungkin karena kemenangan tadi malam masih terasa dalam darah ini. Sebentar lagi di depan ada aliran sungai yang sangat deras di seberang sana, seorang yang ku kasihi menunggu. Perang ini tak pernah usai, mungkin selamanya tak akan pernah usai sampai kapan perjuangan ini kan terganti selimut yang hangat. Pilihan tidak menjadi korban berarti menjadi pejuang.
Walau ragu masih menyelimuti masa depan akankah generasi penerus lebih garang, akankah pejuang akan tetap menjadi pejuang esok hari. Kini sampailah kaki ini di tepian sungai Way Tataian. Hmm… sungai penuh suka cita. Dari sinilah kehidupan di Desa Bandarsari bermula, ketika padi pertama disemai dan ditanam, mungkinkah itu yang aku perjuangkan, atau bangsa ini yang sedang dilanda kepayahan. Maysaroh wahai kekasih, sabarlah sebentar lagi kusebrangi sungai ini bersama teman-teman seperjuangan yang lain. Yang juga rindu dengan kekasih mereka, Paimin di dekat tubuh ini sambil memapah hangat tubuh yang mulai renta ini, iya tadi malam kaki yang rapuh ini tertembak serdadu belanda. Terjangannya begitu hangat namun tak sehangat semangat kami, sungai yang deras membuat hati yang semalam dingin dan brutal menjadi hangat, akhirnya sampailah rombongan kami di desa tempat kami dilahiran jembatan kemarin sudah kami runtuhkan, entah mengapa itu kami lakukan, namun yang pasti hal itu akan memperlambat serdadu belanda sampai ditempat tujuan. Sampailah kami di desa, banyak sekali warga di sana, tersirat raut kesedihan yang mendalam diraut muka mereka semua yang kumal dan lecek, tiba-tiba kulihat seorang wanita berkerudung berlari kencang dengan balutan senyumnya menghampiriku,” Assalamualaikum Mas” tanyanya dengan nada terengah tapi penuh kasih, tampak raut muka kekasih hati ini penuh kerinduan, namun diliputi rasa sedih. “waalaikum salam, aku pulang nduk, gimana khabarmu?” Bukannya menjawab, Maysaroh palah mengelus perutnya yang buncit, sambil tersenyum malu. “kakimu kenapa?” Maysaroh seraya bertanya dengan penuh kasihan, Paimin di samping tubuh inii hanya senyum-senyum, “ndak papa tadi malem kena duri orang londo haha…, Kenapa perutmu buncit? Cacingan nduk hehe…?” Maysaroh pun bergantian memapah tubuh yang lemah ini dengan Paimin, segera Paimin berpamitan pergi ke rumah keluarganya, “ mohon izin pulang pak” Paimin dengan semangatnya, “laksanakan” jawab bibir yang begitu kering ini. Paimin pun bergegas pulang dengan rasa rindunya dengan keluarga. “Mas tepat sekali kau pulang bulan ini, lihat ini perutku buncit cacingan gara-gara cacingmu”, sambil terkekeh-kekeh meledek aku yang sudah jadi suaminya dua tahun yang lalu. Ku gembira Indonesia telah merdeka, dan aku gembira dengan bakal calon anakku yang sembentar lagi lahir ke dunia. Aku sangat gembira hari ini, sampai di rumah dengan penuh suka cita, namun masih terasa atmosfer Agresi Militer Belanda yang selalu membelenggu jiwa pejuang yang tua ini. “ ndak usah dipikirkan, sini aku obati lukamu”, tangan ini hanya bisa mengelus kepala Maysaroh dengan penuh keharuan. “Aku sungguh rindu padamu nduk, kapan kita bisa berdua seperti ini selamanya” tiba-tiba “aduh perutku mas, aduh…”, “kenapa nduk?” “ tampaknya anak kita segera lahir” rasa sakit dikakiku pun melayang, kupopoh tubuh yang lembut itu dengan kepayahan ke ranjang yang dulu aku sering tidur di situ bersamnya, kaki yang kepayahan ini pun berlari menemui dukun bayi, akhirnya kutemui Mbah Samiem seorang dukun beranak di desa kami yang sudah terkenal. Dan kemudian sampailah kami dirumah. Kemudian Mbah Samiem pun, mulai melakukan tugasnya. Namun tiba-tiba terdengar suara pintu yang digedor dengan kencangnya kubuka pintu sambil menyeret kaki yang berdarah-darah. muncullah Paimin dengan rombongan pejuang yang lain. “Mendesak pak, Agresi Militer Belanda hampir masuk ke desa sebelah, perintah dari pusat, segera lakukan gerilya dan merapat di bukit barisan”. Dengan penuh haru, tubuh ini menghampiri sosok istri yang segera akan mengeluarkan calon generasi bangsa. Kucium dahinya dengan hangat, dan bibir ini pun membisikan kata “aku ada tugas negara nduk, kuatkan hatimu, segera aku kembali, beri nama belakang anak kita, “ Merdeka” nama depan terserah kamu”, “iya mas aku tunggu kamu kembali”. Dan kami pun kembali memasuki pintu yang mungkin akan tertutup selamanya, pintu pejuang. Merdeka!!
Ras Eko Untuk para Pahalawan ku....
Walau ragu masih menyelimuti masa depan akankah generasi penerus lebih garang, akankah pejuang akan tetap menjadi pejuang esok hari. Kini sampailah kaki ini di tepian sungai Way Tataian. Hmm… sungai penuh suka cita. Dari sinilah kehidupan di Desa Bandarsari bermula, ketika padi pertama disemai dan ditanam, mungkinkah itu yang aku perjuangkan, atau bangsa ini yang sedang dilanda kepayahan. Maysaroh wahai kekasih, sabarlah sebentar lagi kusebrangi sungai ini bersama teman-teman seperjuangan yang lain. Yang juga rindu dengan kekasih mereka, Paimin di dekat tubuh ini sambil memapah hangat tubuh yang mulai renta ini, iya tadi malam kaki yang rapuh ini tertembak serdadu belanda. Terjangannya begitu hangat namun tak sehangat semangat kami, sungai yang deras membuat hati yang semalam dingin dan brutal menjadi hangat, akhirnya sampailah rombongan kami di desa tempat kami dilahiran jembatan kemarin sudah kami runtuhkan, entah mengapa itu kami lakukan, namun yang pasti hal itu akan memperlambat serdadu belanda sampai ditempat tujuan. Sampailah kami di desa, banyak sekali warga di sana, tersirat raut kesedihan yang mendalam diraut muka mereka semua yang kumal dan lecek, tiba-tiba kulihat seorang wanita berkerudung berlari kencang dengan balutan senyumnya menghampiriku,” Assalamualaikum Mas” tanyanya dengan nada terengah tapi penuh kasih, tampak raut muka kekasih hati ini penuh kerinduan, namun diliputi rasa sedih. “waalaikum salam, aku pulang nduk, gimana khabarmu?” Bukannya menjawab, Maysaroh palah mengelus perutnya yang buncit, sambil tersenyum malu. “kakimu kenapa?” Maysaroh seraya bertanya dengan penuh kasihan, Paimin di samping tubuh inii hanya senyum-senyum, “ndak papa tadi malem kena duri orang londo haha…, Kenapa perutmu buncit? Cacingan nduk hehe…?” Maysaroh pun bergantian memapah tubuh yang lemah ini dengan Paimin, segera Paimin berpamitan pergi ke rumah keluarganya, “ mohon izin pulang pak” Paimin dengan semangatnya, “laksanakan” jawab bibir yang begitu kering ini. Paimin pun bergegas pulang dengan rasa rindunya dengan keluarga. “Mas tepat sekali kau pulang bulan ini, lihat ini perutku buncit cacingan gara-gara cacingmu”, sambil terkekeh-kekeh meledek aku yang sudah jadi suaminya dua tahun yang lalu. Ku gembira Indonesia telah merdeka, dan aku gembira dengan bakal calon anakku yang sembentar lagi lahir ke dunia. Aku sangat gembira hari ini, sampai di rumah dengan penuh suka cita, namun masih terasa atmosfer Agresi Militer Belanda yang selalu membelenggu jiwa pejuang yang tua ini. “ ndak usah dipikirkan, sini aku obati lukamu”, tangan ini hanya bisa mengelus kepala Maysaroh dengan penuh keharuan. “Aku sungguh rindu padamu nduk, kapan kita bisa berdua seperti ini selamanya” tiba-tiba “aduh perutku mas, aduh…”, “kenapa nduk?” “ tampaknya anak kita segera lahir” rasa sakit dikakiku pun melayang, kupopoh tubuh yang lembut itu dengan kepayahan ke ranjang yang dulu aku sering tidur di situ bersamnya, kaki yang kepayahan ini pun berlari menemui dukun bayi, akhirnya kutemui Mbah Samiem seorang dukun beranak di desa kami yang sudah terkenal. Dan kemudian sampailah kami dirumah. Kemudian Mbah Samiem pun, mulai melakukan tugasnya. Namun tiba-tiba terdengar suara pintu yang digedor dengan kencangnya kubuka pintu sambil menyeret kaki yang berdarah-darah. muncullah Paimin dengan rombongan pejuang yang lain. “Mendesak pak, Agresi Militer Belanda hampir masuk ke desa sebelah, perintah dari pusat, segera lakukan gerilya dan merapat di bukit barisan”. Dengan penuh haru, tubuh ini menghampiri sosok istri yang segera akan mengeluarkan calon generasi bangsa. Kucium dahinya dengan hangat, dan bibir ini pun membisikan kata “aku ada tugas negara nduk, kuatkan hatimu, segera aku kembali, beri nama belakang anak kita, “ Merdeka” nama depan terserah kamu”, “iya mas aku tunggu kamu kembali”. Dan kami pun kembali memasuki pintu yang mungkin akan tertutup selamanya, pintu pejuang. Merdeka!!
Ras Eko Untuk para Pahalawan ku....
0 Comments
Posting Komentar
Hanya hati yang ikhlas yang akan berkomentar dengan penuh kasih.